Bisakah Yesus Menanggung Dosa Manusia?

Bisakah Yesus Menanggung Dosa Manusia?


Pada zaman ketika hak-hak azasi manusia begitu ditekankan seperti sekarang ini, setiap Pekan Suci saya seringkali mempunyai satu pertanyaan yang tidak berani saya lontarkan karena seolah meragukan ajaran Gereja. Permisi Pastor. Mengapa dan bisakah Yesus menanggung dosa-dosa manusia lain? Bukankah setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri di hadapan Tuhan? Mengapa kematian dan kebangkitan Kristus mempunyai dampak untuk manusia lain?
Wilhemus Bai Tukan, Larantuka

Terima kasih atas keberanian Anda untuk bertanya itu, karena saya yakin bahwa banyak orang Katolik lain juga mempunyai pertanyaan yang sama. Bertanya untuk menggali pengertian yang lebih mendalam adalah bagian dari penghayatan iman yang bertanggungjawab (fides quaerens intellectum).

Pertama, manusia bukanlah makhluk soliter, artinya yang ada sendiri untuk diri sendiri. Manusia pada dasarnya adalah makhluk relasional, artinya setiap manusia saling terkait dan mempengaruhi manusia lain. Seluruh umat manusia bisa digambarkan sebagai satu manusia besar, sedangkan setiap individu adalah bagian dari manusia besar itu. Apa yang terjadi pada setiap manusia akan mempunyai dampak pada anggota yang lain. Ada kesatuan dalam keberadaan manusia (ontologis) yang memungkinkan manusia saling terkait.

Konsep hak azasi tidaklah salah, tetapi belum menunjukkan keseluruhan manusia secara lengkap. Selain sifat individual, manusia juga mempunyai sifat relasional (sosial). Penekankan berlebihan pada hak azasi cenderung melupakan dimensi relasional ini. Dimensi relasional ini mendapatkan tekanan sangat kuat dalam pemikiran Timur.

Kedua, Rasul Paulus menerapkan sifat keterkaitan manusia tersebut pada Kristus dalam peristiwa inkarnasi, ”Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.” (Gal 4:4-5)

Di sini Paulus menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas Yesus dengan keadaan manusia. Hal ini mungkin dilakukan karena Yesus menjadikan diri-Nya senasib dengan semua manusia dalam keadaan berdosa serta segala implikasinya. Solidaritas Yesus tidak terbatas pada mengalami keadaan manusia, tetapi malahan ikutserta memikul akibat terberat dari dosa, yaitu kematian. Solidaritas Yesus yang sedemikian tuntas dengan manusia menjadi dasar bahwa ketaatan Kristus kepada Bapa-Nya mempunyai dampak untuk manusia lain.

Ketaatan Kristus sampai mati membawa pembenaran kita: ”supaya kita menjadi kebenaran Allah di dalam Dia” (bdk 2 Kor 5:21). Maka, ketaatan Kristus sampai mati menjadi ”sarana pendamaian” (Rom 3:25) hubungan Allah dengan manusia.

Itulah sebabnya mengapa Paulus mengajarkan dengan begitu yakin bahwa oleh ketaatan satu orang, semua orang dijadikan orang benar. Hal ini berlawanan dengan ketidaktaatan satu orang (Adam) yang menjadikan semua orang berdosa (Rom 5:12-21).

Solidaritas Kristus mengundang juga partisipasi kita. Maka Paulus berkata bahwa manusia disalibkan bersama Kristus (Rom 6:6; Gal 2:19), mati bersama Kristus (Rom 6:8), bangkit/ dihidupkan bersama Kristus (bdk Kol 2:12), menderita bersama Kristus (Rom 8:17), hidup bersama Kristus (Rom 6:8), dimuliakan bersama Kristus (Rom 8:17).

Ketiga, solidaritas Yesus dengan seluruh umat manusia menjadikan Yesus sebagai penebus seluruh umat manusia (2 Kor 5:14-15). Dalam Kristus, Allah telah mendamaikan seluruh dunia dengan diri-Nya (2 Kor 5:19). Kebangkitan Kristus mengawali kebangkitan orang-orang lain. Kristus adalah buah sulung (1 Kor 15:20-28).

Konsili Vatikan II menegaskan ulang kesetiakawanan Kristus dengan seluruh umat manusia: ”Putra Allah, dalam penjelmaan-Nya, dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang. ... karena Kristus telah wafat bagi semua orang, ... Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk dengan cara yang diketahui Allah digabungkan dengan misteri Paskah itu.” (GS 22).

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM