PERTANYAAN kritis
berupa gugatan bahwa Gereja Katolik Semesta sebaiknya jangan lagi
berkiblat di Eropa kini semakin nyaring gaungnya menjelang konklaf
pertengahan Maret 2013 ini. Belum lagi kalau harus mengingat pernyataan
tegas mendiang Beato Paus Yohannes Paulus II tahun 1999 silam saat
melawat ke New Delhi, India: “Millenium Ketiga nantinya akan berpusat di
Asia”.
Ungkapan
itu bergema kencang, saat Bapa Suci Yohannes Paulus II menutup Sidang
Sinoda Para Uskup Asia. Dan gema senada kembali dia kumandangkan tahun
2004 ketika dia mengucapkan pernyataan-pernyataan berikut ini:
“Ayo Asia, bangkitlah dan menjadi bagian dari kami. Asia, inilah tugas utama kita menyongsong datangnya Millenium Ketiga mendatang”.
Gereja Katolik di Asia memang tidak boleh dianggap enteng oleh Vatikan.
Asia, masa depan Gereja Katolik Semesta
Mengapa?
Selain karena jumlah umat katolik semakin banyak –meski tetap menjadi
kelompok minoritas di banyak negara di kawasan Asia—namun jangan pernah
lengah melihat fakta berikut ini: jumlah panggilan hidup religius tetap
membuncah riah.
Panggilan
hidup menjadi imam, bruder dan suster di negara-negara Asia Timur dan
Asia Tenggara –termasuk Indonesia—tetap menempati angka tinggi. Bahkan
boleh dibilang, dari negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia
Tenggara inilah, gelombang misionaris asing pada era Millenium Kedua
sudah terjadi.
Banyak
pastur asal Indonesia kini sudah menjadi pastur paroki di beberapa
negara di Eropa sebagai misionaris. Tak terkecuali, mereka juga menjadi
pelayan Tuhan di beberapa negara Afrika, Amerika Latin, Bangladesh dan
Srilanka.
Setelah Asia, maka perkembangan Gereja Katolik yang pesat adalah Afrika.
Jadi, akankah konklaf 2013 memandang enteng fenomena global dalam sejarah Gereja Katolik Semesta ini? Rasa-rasanya tidak.
Inilah
‘kondisi apa adanya’ dunia Gereja Katolik Semesta pada saat ini dimana
iman akan Kristus semakin ditinggalkan di Eropa dan Amerika Utara, namun
tetap membuncah bungah di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Gereja Katolik Universal
Mengutip
pertanyaan Kardinal Walter Casper, Franco Pisano mengatakan, yang
dibutuhkan Vatikan saat inilah adalah “seorang gembala sejati yang lahir
dan datang dari kawanan umat beriman. Gembala beriman inilah yang harus
memimpin Gereja.”
Saat
inilah, kata Sang Kardinal, dia mengalami apa yang dia sebut sebagai
“Gereja Universal” yang nyata: Kristus diimani orang dimana-mana. Maka
tantangannya yang harus dihadapi Gereja di era globalisasi adalah
bagaimana tetap beriman dalam sebuah suasana kebatinan masyarakat yang
punya semangat “harus memiliki”. Belum lagi isu-isu global di bidang
moralitas perkawinan, seksual, dan ekonomi serta bio-teknologi.
Kalau harus melongok ke dalam di lingkungan Curia Romana, maka yang harus dibasmi cepat adalah wabah birokratisasi di Tahta
Suci. Skandal Vatileaks membuktikan bahwa birokrasi yang berbelit-belit
dan panjang itu menjadi masalah besar di Tahta Suci sekarang. Belum
lagi kalau harus menyoal prinsip tansparansi yang harus diterapkan oleh
Bank of Vatican sebagaimana dianjurkan oleh hukum bersama yang berlaku
di semua wilayah Uni Eropa.
Yang
sebaiknya menjadi Paus ke-265 adalah Kardinal yang masih kuat secara
fisik. Jadi unsur umur menjadi sangat menentukan dalam proses eleksi dan
diskresi ini. (Bersambung)
Photo credit: Lapangan Santo Petrus dan Obelisk di Vatikan (Mathias Hariyadi)