Sidang
pra-konklaf untuk memilih Paus baru pengganti Paus Benedictus XVI
rupanya sudah mengerucut pada sebuah isu/persoalan besar di depan mata.
Para kardinal yang jumlahnya 115 yang punya hak untuk memilih sudah
diwanti-wanti oleh carmelenggo penjabat kekuasaan Tahta Suci selama sede vacante atas satu-dua isu penting.
Pertama, agar
mereka lebih focus pada poin tantangan dan persoalan besar apa yang
kini dan akan dihadapi Gereja Semesta mendatang daripada hanya berfokus
pada siapa yang layak jadi Paus mendatang.
Kedua,
kalau sudah mengerucut persoalan dan tantanan Gereja Katolik Semesta
pada masa kini dan mendatang maka pertanyaan selanjutnya adalah siapakah
di antara ke-115 ini yang dianggap paling layak dan bermartabat untuk
menjadi Pemimpin Gereja Katolik Semesta?
Dengan
dua kriteria besar ini, begitu harapan para Kardinal, maka proses
eleksi memilih Paus bisa diharapkan berlanjan mulus dan lancar tanpa
banyak menemui jalan buntu atau kendala berupa banyak pertimbangan.
Hari-hari ini pula, Vatikan akan dipenuhi oleh mereka yang biasa dalam bahasa Italia disebut totopapa
alias ‘para pengintip paus’ yang memicingkan mata, membuka daun telinga
lebar-lebar untuk menelisik kira-kira siapa yang akan menjadi Paus
berikutnya.
Sudah muncul kasak-kusuk di kalangan totopapa
ini semacam prediksi siapa yang kira-kira akan menjadi Paus. Bisa jadi,
kandidat top markotop itu datang dari lingkaran dalamnya Kardinal
Bertone dari kelompok Italia. Lainnya menjagokan kardinal dari kawasan
Amerika Utara dan Latin. Berikutnya lagi menjagokan kardinal berkulit
hitam dari Tanah Afrika dan lainnya malah menjagokan kardinal dari
kawasan Asia Timur.
Namun, jalan pikiran manusia kadang-kadang memang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan dan bimbingan Roh Kudus.
Ketika
tanggal 19 April 2005, Kardinal Joseph Ratzinger yang dianggap kardinal
konservatif dan sering diejek dengan sebutan “the church’s rotweiller”
saking keukeuhnya menjaga otentisitas iman katolik terhadap serbuan
kritik, banyak orang terperangah mengapa akhirnya Dewan Kardinal dalam
konklaf itu sampai pada sebuah titik kulminasi: ‘harus’ memilih the
church’s rotweiller Gereja ini.
Bukankah
ini merupakan sebuah langkah mundur ke belakang lagi, karena Paus
sebelumnya justru dikenal sangat progresif, demokratis dan fleksibel.
Namun, lagi-lagi karya Tuhan bekerja melalui paus bernama Benedictus XVI ini.
Pada kesempatan memimpin misa pro eligendo romano pontifice tanggal 18 April 2005 untuk menandai awal tugasnya memimpin Gereja Katolik Semesta sebagai Paus baru, ternyata mantan Kardinal Joseph Ratzinger ini justru
membuat gebrakan yang tidak disangka-sangka. Itu antara lain penegasan
dia sebagai Paus baru dimana Gereja –kata beliau di hari-hari perdana
duduk di Tahta Suci—harus kembali ke “prinsip dasar’ untuk menemukan kembali imannya yang sejati yakni persekutuan Gereja dengan Kristus.
Sebuah kristologi dengan semangat baru diluncurkan dari Tahta Suci. Dan masuk akal pula, dalam 8
tahun memimpin Gereja Katolik Semesta, ‘kristologi’ Paus ini begitu
menggigit dengan ditandai antara lain terbitnya 3 serial buku tentang
Yesus Kristus.
Dan sekarang, demikian tulis Franco Pisano dalam laporan in-dept bertitel Conclave: si sceglie guardando alle sfide, prima che agli uomini sebagaiman dilansir oleh media katolik AsiaNews edisi Senin (4/3) ini, dunia kekatolikan sudah ‘bergeser’ meninggalkan Eropa. Kini, kata Franco, banyak orang katolik sudah tidak lagi berpaspor negara-negara Eropa—darimana roh kekatolikan menemukan ‘rumah abadinya’ selama berabad-abad.
Orang-orang katolik pada era dunia modern ini justru malah ditemukan di luar Eropa. Kawasan ‘dunia
katolik’ sekarang ini malah bergeser ke Amerika Latin, daratan Asia
Timur, dan Afrika. Jadi, kalau ada kemendesakan Paus baru nantinya
‘harus datang’ dari kawasan penghasil ‘dunia katolik’ ini, maka seruan
ini dianggap masuk akal.
Jadi, mengapa Vatikan mesti harus memalingkan wajahnya dari berbagai kawasan katolik ini? (Bersambung)
Photo credit: Gereja Katolik Jesuit Del Gesu, Roma (Mathias Hariyadi)