Konklaf 2013: Paus Baru, bukan Soal Siapanya tapi Gereja Butuh Siapa? (1A)

Gereja Del Gesu doa

Sidang pra-konklaf untuk memilih Paus baru pengganti Paus Benedictus XVI rupanya sudah mengerucut pada sebuah isu/persoalan besar di depan mata. Para kardinal yang jumlahnya 115 yang punya hak untuk memilih sudah diwanti-wanti oleh carmelenggo penjabat kekuasaan Tahta Suci selama sede vacante atas satu-dua isu penting.

Pertama,  agar mereka lebih focus pada poin tantangan dan persoalan besar apa yang kini dan akan dihadapi Gereja Semesta mendatang daripada hanya berfokus pada siapa yang layak jadi Paus mendatang.


Kedua, kalau sudah mengerucut persoalan dan tantanan Gereja Katolik Semesta pada masa kini dan mendatang maka pertanyaan selanjutnya adalah siapakah di antara ke-115 ini yang dianggap paling layak dan bermartabat untuk menjadi Pemimpin Gereja Katolik Semesta?

Dengan dua kriteria besar ini, begitu harapan para Kardinal, maka proses eleksi memilih Paus bisa diharapkan berlanjan mulus dan lancar tanpa banyak menemui jalan buntu atau kendala berupa banyak pertimbangan.


Hari-hari ini pula, Vatikan akan dipenuhi oleh mereka yang biasa dalam bahasa Italia disebut totopapa alias ‘para pengintip paus’ yang memicingkan mata, membuka daun telinga lebar-lebar untuk menelisik kira-kira siapa yang akan menjadi Paus berikutnya.

Sudah muncul kasak-kusuk di kalangan totopapa ini semacam prediksi siapa yang kira-kira akan menjadi Paus. Bisa jadi, kandidat top markotop itu datang dari lingkaran dalamnya Kardinal Bertone dari kelompok Italia. Lainnya menjagokan kardinal dari kawasan Amerika Utara dan Latin. Berikutnya lagi menjagokan kardinal berkulit hitam dari Tanah Afrika dan lainnya malah menjagokan kardinal dari kawasan Asia Timur.

Namun, jalan pikiran manusia kadang-kadang memang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan dan bimbingan Roh Kudus.

Ketika tanggal 19 April 2005, Kardinal Joseph Ratzinger yang dianggap kardinal konservatif dan sering diejek dengan sebutan “the church’s rotweiller” saking keukeuhnya menjaga otentisitas iman katolik terhadap serbuan kritik, banyak orang terperangah mengapa akhirnya Dewan Kardinal dalam konklaf itu sampai pada sebuah titik kulminasi: ‘harus’ memilih the church’s rotweiller Gereja ini.

Bukankah ini merupakan sebuah langkah mundur ke belakang lagi, karena Paus sebelumnya justru dikenal sangat progresif, demokratis dan fleksibel.

Namun, lagi-lagi karya Tuhan bekerja melalui paus bernama Benedictus XVI ini.

Pada kesempatan memimpin   misa pro eligendo romano pontifice  tanggal 18 April 2005 untuk menandai  awal tugasnya memimpin Gereja Katolik Semesta sebagai Paus baru, ternyata mantan Kardinal Joseph Ratzinger ini  justru membuat gebrakan yang tidak disangka-sangka. Itu antara lain penegasan dia sebagai Paus baru dimana Gereja –kata beliau di hari-hari perdana duduk di Tahta Suci—harus kembali  ke “prinsip dasar’ untuk menemukan kembali imannya yang sejati yakni persekutuan Gereja dengan Kristus.

Sebuah kristologi dengan semangat baru diluncurkan dari  Tahta Suci. Dan masuk akal pula, dalam  8 tahun memimpin Gereja Katolik Semesta, ‘kristologi’ Paus ini begitu menggigit dengan ditandai antara lain terbitnya 3 serial buku tentang Yesus Kristus.

Dan sekarang, demikian tulis Franco Pisano dalam laporan in-dept bertitel  Conclave: si sceglie guardando alle sfide, prima che agli uomini sebagaiman dilansir oleh media katolik AsiaNews edisi Senin (4/3) ini, dunia kekatolikan sudah ‘bergeser’ meninggalkan Eropa. Kini, kata Franco, banyak orang katolik sudah tidak lagi berpaspor negara-negara Eropa—darimana  roh kekatolikan menemukan ‘rumah abadinya’ selama berabad-abad.

Orang-orang katolik pada era dunia modern ini justru malah ditemukan di luar Eropa. Kawasan  ‘dunia katolik’ sekarang ini malah bergeser ke Amerika Latin, daratan Asia Timur, dan Afrika. Jadi, kalau ada kemendesakan Paus baru nantinya ‘harus datang’ dari kawasan penghasil ‘dunia katolik’ ini, maka seruan ini dianggap masuk akal.

Jadi, mengapa Vatikan mesti harus memalingkan wajahnya dari berbagai kawasan katolik ini? (Bersambung)
Photo credit: Gereja Katolik Jesuit Del Gesu, Roma (Mathias Hariyadi)